Jarate-jarate ela-elo…
Sambel kacang, sambel kacang Lombok ijo… Kidul kono, kidul kono Adang ketan…
Aku rono, aku rono
Tabok iyan… |
*** Begitulah kakek buyutku sesekali melantunkan lagu itu, ketika ia menghantarkan tidurku. Aku pun tak mengerti mengapa kakek lebih memilih tembang itu daripada lagu nina bobo, seperti yang dinyanyikan ibu temanku. Akhirnya kuputuskan untuk menanyakan hal itu pada kakek. “Kek, kenapa kakek selalu melantunkan tembang itu untukku…?”, tanyaku tanpa dosa. ”Karena jika kakek melantunkannya, kakek merasa masih dalam peristiwa kebakaran itu”, gumamnya lirih.“Hah, kebakaran….?!....kok bisa, di mana, kapan, waktu itu kakek sedang apa...?!”, tanyaku menggebu-gebu.“Tenanglah, tak usah kau berteriak seperti itu ”, jawab kakekku tenang.“Hah…?!”, sahutku masih terbengong-bengong. “Kau akan tahu maksud cerita kakek setelah membaca buku ini, cucuku”, jawab kakekku sambil menyodorkan sebuah buku.Buku itu terlihat sudah tua, bahkan lebih tua dariku. Tanpa berkata apa-apa kuterima buku itu. Dan kakek mulai beranjak dari kursi di sebelah kasurku tanpa mengucapkan salam padaku. Aku pun tak begitu memperdulikan hal itu. Perlahan kubuka buku itu. Pada halaman sampul buku itu bertuliskan “Agus Susilo”. “Oohh…ternyata ini diary pamanku to…, lalu apa maksud kakek memberikan ini padaku, dosakah aku jika aku membuka diary pamanku.....? “, gumamku lirih. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Akhirnya aku memutuskan untuk membaca diary dengan tulisan tangan itu. Ya, itu memang tulisan pamanku yang sekarang sedang bekerja di kota. Dan inilah isi buku itu. *** Tombak Bala Sewu Jarate-jarate ela-elo… Sambel kacang, sambel kacang Lombok ijo… Kidul kono, kidul kono Adang ketan… Aku rono, aku rono Tabok iyan… “Agus jaga…, Agus jaga…!!!”.Dan ternyata aku yang dapat giliran berjaga, di antara riuh suara permainanku dengan teman-temanku, aku pun tak dapat menolak lagi. Itulah salah satu tembang dolanan yang kerap menghiasi malam di dusun kecilku, Dusun Tempuran namanya. Suara celotehan, tangisan dan teriakan tak pernah terlewatkan. Api-api dari dalam ting yang menari-nari tertiup angin menambah semarak malam purnama. Ya, walaupun di dusun kecilku ini belum ada aliran listrik, namun aku tak pernah merasa takut jika keluar rumah, karena di setiap sisi jalan, ting-ting kecil senantiasa menemani malam desaku. “Le…, ayo pulang!!”. Seruan itulah yang selalu menutup permainan sederhanaku. Serasa tak pernah absen nenek menyerukan kalimat itu. Ya, memang benar, hari sudah terlalu malam. Mataku pun sudah tak kuasa menahan kantuk. Maka segera kuputuskan untuk mengakhiri permainankuku. Dan tak lupa kuucapkan salam perpisahan untuk temanku. “Wis ya…,aku tak mulih dhisik, selak didukani Mbahku!”, pamitku.
“Ya...!”, balas teman-temanku. “Sisuk eneh ya…!”, seru temanku . “He’eh,…ya…ya…”, sahut yang lain. Setelah mendapatkan jawaban itu, segera kulangkahkan kaki mungilku menuju rumah yang berdinding kayu yang terlalu luas untukku, nenek, dan kakek. Rumah yang hanya dihuni oleh dua orang paruh baya dan seorang anak kecil. Setelah mencuci kaki, lalu segera ku menuju ranjang rapuh yang rasanya sudah tak kuat lagi menahan beban. Tapi aku tak pernah memperdulikan itu, karena memang benar, mataku sudah tak dapat diajak untuk menjelajahi malam. Dan akupun sudah tertidur sebelum nenek menutup cublik dengan rinjing agar apinya tidak padam tertiup angin. *** “Cukurukuuuuukk…cukurukuuuuukk….”. Ayam jago telah berkokok, pertanda Sang Fajar sudah mulai siap bertugas, kini ia sudah bertengger di ufuk timur. “ Gus, ayo bangun, sudah pagi ini lho…! “, ujar nenekku. “Nggih Mbah…!”, jawabku. Akupun segera terjaga dari tidurku setelah kudengar suara kokok ayam, terlebih saat nenek menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku tak dapat melanjutkan mimpiku lagi. Karena mataku telah terbuka. Hari memang masih terlalu pagi untukku pergi ke sekolah. Tapi bukan untuk itu nenek membangunkanku sepagi ini, melainkan untuk membantu kakek mengusung kayu bakar dari belakang rumah. Aku terkadang menyebut tempat ini seperti hutan, karena tempat ini terlalu rimbun untuk sekedar disebut halaman atau taman, aku memang benar dan perkataan itu kukatakan bukan tanpa alasan, ya, tak lain karena terlalu banyak tanaman yang tumbuh di situ. Kakekku memang sengaja membuat halaman belakang rumah seperti ini.Karena menurut beliau, “Lemah kuwi panggonan uripe manungsa, ya ing kana kita ngrasakake hawa ndonya, soklata rupane, nanging akeh nyimpen raja brana kang banget migunani kanggo kowe, mangka kita kudu tansah njaga lan ngolah kanti sakapike.Tanah adalah tempat manusia berpijak, dan di situlah kita dapat merasakan apa yang sekarang kita rasakan, biarpun coklat warnanya, tapi disanalah tersimpan banyak sekali kekayaan alam yang berguna bagi kita, maka kita harus memanfaatkannya dengan baik dan senantiasa menjaganya”. Kata-kata itu masih saja kuingat dan tak akan kulupa karena itulah yang beliau amanahkan padaku. Lamunanku berakhir ketika kakek memanggilku untuk segera mengambil ranting-ranting kayu itu, bukannya malah melamun. Setelah semuanya usai, aku segera beranjak dari tempatku dan segera menyucikan diri untuk segera tunaikan kewajiban sholat subuh. Saat ku bersiap-siap ke sekolah, kulihat nenek sedang meniup tungku menggunakan batang bambu, untuk mendidihkan air. Segera saja aku ambil tempat untuk sarapan dan setelah itu berangkat sekolah.
*** Jarum jam telah menunjukkan pukul 11.00, saatnya aku pulang, aku memang baru kelas 4 SD,jadi pulangnya lebih awal. Seperti biasa aku pulang bersama dengan teman-temanku melewati pematang sawah, karena memang itu jalan terdekat yang menghubungkan desaku dengan dengan desa sebelah. Sepanjang jalan kami merencanakan kegiatan yang akan kami lakukan bersama nanti. Bilamana aku pulang lewat sawah, maka banyak sekali petani yang kutemui, kadang aku juga bertemu nenek yang mengantarkan makan siang untuk kakekku yang sedang berladang. Meskipun sawah yang dimiliki kakek tak seberapa luas, tapi kakekku tetap giat, sepeti yang kukatakan di atas, kakekku adalah orang yang sangat rajin mengolah tanah. Aku dan teman-temanku mempercepat langkah agar lekas sampai di rumah dan makan siang. Dan sampailah aku di rumah. Lalu kami sama-sama pergi ke surau untuk shalat dhuhur. Seusai shalat aku dan teman-teman berencana untuk pergi ke sawah cari tebu, karena ini musim kemarau dan musim panen tebu. Segera saja aku menyetujui hal itu.Aku selalu merasa senang kalau berada di sawah tak peduli musim kemarau, karena musim kemarau dan musim hujan bagiku tak jauh beda. Di sawah aku membantu kakekku, jika berada di sawah, aku dapat melepaskan pandanganku ke segala penjuru mata angin, bukan berarti kalau di tempat lain aku tidak dapat melepaskan pandanganku, aku merasa lebih nyaman di sawah karena tiap mata memandang, selalu tampak hutan yang hijau lebat dipadu dengan gunung tinggi, hijau tanaman disawah bak permadani alam yang menghampar di kaki Gunung Pandan yang menjulang ditambah dengan udara yang masih bersih, sungaipun masih terlihat jernih terkadang aku dapat melihat ikan yang menari-nari dalam air. *** Kini kami telah tiba di sawah, panas terik matahari yang membakar kulit tak begitu kupikirkan. Gesekan-gesekan daun tebu yang terasa gatal jika menyentuh kulit tak kami hiraukan, malah kami terus menuju ke dalam rimbunan tebu demi misi kami, yaitu mendapatkan tebu secara gratis, tapi bukan berarti kami mencuri. Karena sebelumnya kami telah meminta izin kepada Pak Mandor. Tapi hari itu kami juga melihat teman-teman kami yang lain mengambil tebu, aku tak bilang kalau mereka mencuri, tapi wajah mereka terlihat ketakutan, mereka melangkah sangat hati-hati seperti maling yang mengendap-endap. Akupun tak begitu memperdulikan hal itu. Akhirnya kami mendapat beberapa batang tebu yang kami rasa cukup untuk membasahi lidah kami yang jarang sekali merasakan permen. Dan kami pun keluar dari tempat yang panas itu, beberapa kali aku sempat terjatuh karena terpeleset daun tebu yang kering, memang banyak sekali benda gatal itu di sana. Setelah puas menikmati tebu itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Pak mandor dan kami mulai mengambil langkah untuk pulang. Namun rupanya aku melupakan sesuatu. Celurit yang sebelumnya kubawa dari rumah masih tertinggal di dalam kebun, akhirnya aku dan Darto yang harus kembali kedalam untuk mengambilnya. Hah, lali sekali rupanya aku ini. Cukup susah juga bagiku kembali ke tempat dimana aku meletakkannya, karena rimbun ditambah teriknya matahari, fatamorgana mulai Nampak, tapi segera setelah itu Darto membangunkanku dari keletihanku.“Gus, iki lho, wes ketemu. Ayo balik”, serunya sambil mengacung-acungkan celurit ke arahku.Aku yang sudah tak berdaya karena gesekan nakal tangan-tangan berbulu gatal mulai terusik. Aku hanya mengangguk mengisyaratkan setuju. Dan ia menuju ke arahku. Kami diam sejenak, saling memandang, kemudian menghamburkan pandangan ke sekitar.Bodoh sekali rupanya aku ini, baru sebentar saja sudah lupa jalan keluar. Darto pun ikutan celingukan.“Gus, dalan e metu ngendi?”, tanyanya dengan wajah lugu bercampur bingung.Karena sama-sama buta arah, kami memutuskan untuk mulai melangkah dengan hanya menuruti insting kami yang kami sendiripun tak yakin itu akan manjur untuk menuntun kami keluar dengan selamat dari tempat sesat ini.Setelah beberapa saat melangkah, aku merasa semakin loyo, panas sekali.“Apa malaikat menambah daya matahari ya?”Begitu teriknya keringat sebesar biji kedelai mulai mengucur dari dahiku, Darto juga tak jauh beda. Kami saling memandang.“Semakin panas rasanya, seperti dalam panggangan”, serunya.Saat itulah perasaanku mulai tak enak, kami pun saling bertukar pandang, terlebih saat kami mencium bau hangus. Aku berfikir itu mungkin hanya aroma kretek dari cerutu Pak mandor yang sedang dihisap yang tak biasa kami hirup. Ya…mungkin saja. Tapi ketika itu posisi kami jauh dari Pak Mandor, atau...Kami tak dapat mengira-ngira lagi... kekhawatiran semakin memuncak ketika ku lihat semburat merah membara mulai menari-nari di rimbunan tebu dibalik kami berpijak.Tak tahu harus apa, hanya diam terpaku meratapi nasib yang dalam hitungan menit akan menjadi daging panggang. Tetapi, pada saat yang bersamaan aku kaget dan hampir tak bisa menutup mulutku karena kulihat api yang cukup besar untuk melalapku ternyata juga ada di sisi kananku sedang menjalar dengan lancarnya membakar seluruh daun kering nan gatal itu. Aku pikir itu memang api yang sengaja dinyalakan kuli tebu, karena setahuku tiap akan panen tebu, selalu tebu-tebu itu dibakar. Namun anehnya salah satu dari kuli tebu itu spontan saja berteriak dan membuat kami semua yang ada di sana kaget. “Awaaass…, ada api…, kebakaraan…kebakaran…”, teriaknya hingga otot lehernya terlihat. “Hah! Bukannya...bukannya ia sengaja membakar tebu-tebu itu…?!”, sahutku dengan lantang. “Tidak, aku tidak menyalakan api sedikitpun…!!!”, jawabnya terengah-engah. “ Haaahh...??!!”Kami saling berteriak di dalam rimbunnya tebu.“anak-anak, segera keluar dari tebon, kebakaran... ayo, lari, segera selamatkan nyawa kalian!!!”, kudengan pak mandor berseru. Spontan saja kami panik, tapi untungnya, berkat kepanikan itu memudahkan jalan dua anak yang hidupnya nyaris terpanggang dapat selamat.Begitu sampai diluar tebon, aku kaget, karena daun-daun kering itu ternyata sangat banyak dan tersebar hingga perbatasan dusun, aku sangat takut kalau dusunku terbakar, karena kalau musim kemarau, air di kali pun tak juga cukup untuk mereda amukan si jago merah. Aku langsung saja berlari pulang sambil berteriak memberitahu orang-orang di dusunku bahwa ada kebakaran. Tapi sialnya tak banyak orang yang mendengar suaraku yang cempreng ini. Dan kulihat orang-orang yang mendengar teriakanku kebingungan. Menurutku mereka sedang bingung karena mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Akhirnya aku sampai di rumah dan untungnya aku bertemu dengan kakek dan nenek. Segera saja kuberitahukan kepada mereka bencana yang akan menimpa dusun kami jika kami tak siaga. Mendengar itu kakek dan nenekku segera menuju ke belakang rumah dan begitu mereka kembali mereka menenteng sapu lidi di tangan masing-masing. nenek juga memberikan satu untukku. “Ini Gus untukmu, ayo cepat kita selamatkan desa kita “, ujar nenek. “Untuk apa ini mbah…?!”, tanyaku penasaran, tapi sepertinya mereka tidak mendengarkanku. Dan aku masih saja belum mengerti, apa yang harus kulakukan saat ini dengan benda yang kupegang di tengah suasana yang genting ini. Tak tahu kenapa kakek dan nenek segera keluar sambil berteriak“Tombak Bala Sewu…!!!!”. Seru kakek dan nenekku seraya mengacungkan tinggi-tinggi bawaan di tangan mereka yaitu sapu lidi. “Hah...??!!” aku pun tercengang tak mengerti melihat apa yang mereka lakukan. Kakek bersama nenek mengajak orang-orang berlari ke perbatasan dusun di Tempat Kejadian Perkara (TKP) sambil menenteng sapu lidi di tangan masing-masing.“Tombak bala sewu…!!!”, teriak orang-orang penuh semangat. Akupun juga ikut serta bersama mereka, aku ingin terlibat langsung dalam peristiwa bersejarah itu. Sepanjang perjalanan aku melihat orang-orang tampak ikut serta dalam rombongan kami, serasa tanpa dikomando mereka juga melakukan hal yang sama. Tapi…”Awas…”,teriakku memperingatkan orang-orang. Kala itu kulihat kobaran api bertambah besar, awanpun berubah warna, hitam pekat…karena asap. Wuiih betapa hebatnya kebakaran yang kali pertama kualami. Dan…”doorr…!!!”sebuah ledakan terdengar sangat memekakkan telinga diiringi dengan muntahan serpihan-serpihan besi, mungkin itu suara motor Pak mandor yang terbakar, tapi kuharap tidak. Mendengar itu kami semakin mempercepat langkah. Ketika sampai di sana, suasanapun bertambah kacau. Ibu-ibu berlarian sambil menggendong bayi mereka dan membawa beberapa bungkusan. Entah apa isinya. Aku juga bertemu dengan teman-temanku,“Gus…, ayo kita selamatkan diri, aku tak mau kalau aku dan kambingku ini harus mati di tengah kebakaran ini”, ujarnya sambil terengah-engah.Aku tak begitu perduli dengan hal itu. Waktu terasa begitu singkat, kami segera tiba di lokasi, dan sekali lagi orang-orang meneriakkan “Tombak Bala Sewu”. Dan ketika kami tiba, benar saja, motor Pak mandor terbakar. Dan…”oh Tuhan…!! ternyata ada yang lebih mengenaskan lagi”, seruku.Sebuah kandang beserta sapinya yang berada di antara pohon bambu yang kering di dekat sawah telah terbakar tanpa sisa…. Api itu cepat sekali merambat hingga melalap rumah Pak Bejo. Sungguh kasihan Pak Bejo, sudah jatuh tertimpa tangga karena nasibnya ternyata tidak se-bejo namanya.Kami tak ingin korban bertambah banyak, maka segera saja mereka segera mengambil tempat dan mulai menyapu daun-daun kering dan benda-benda lain yang mudah terbakar. Mereka menyapu mengitari perbatasan dusun. Dan sekarang aku baru mengerti kenapa mereka melakukan itu, ternyata dengan menyapu tanah di sekitar perbatasan dusun dengan sawah itu, maka api tidak dapat menjalar ke desa kami karena tidak ada benda yang dapat menjadi perantara api untuk terus masuk ke dusun kami. Berkat pertolongan Tuhan dan kerja keras, serta kekompakan warga dusunku, kini mereka dan dusun kecilku nan kusayang, Tempuran dapat lolos dari bencana yang jelas ada di depan mata. Dan kini kami sedikit dapat bernafas lega, tapi ada sedikit yang masih mengganjal dihati, bagaimana Pak Bejo dapat mengganti sapi yang hangus terbakar itu? Karena sapi itu bukan miliknya sendiri melainkan milik salah satu tetangganya yang ia pelihara. Belum lagi ia harus menanggung biaya perbaikan rumahnya yang hangus terbakar tanpa sisa. Akhirnya para warga sepakat untuk membantu semampu mereka, guna meringankan beban Pak Bejo. Aku tak pernah mengira kejadian seperti ini akan menimpa dusunku. Tapi aku bersyukur kepada Tuhan karena kami masih dilindungi sehingga tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. “Aku tapi kok masih merasa aneh ya…?, dari mana api itu berasal, dan kenapa waktu berjalan begitu cepat, perasaan baru tadi aku melihat kobaran api, tapi sekarang…?”, kataku dalam hati sewaktu dalam perjalanan pulang. *** “Ooh… jadi ini alasan kakek lebih senang melantunkan lagu ini daripada harus menyanyikan lagu nina bobo padaku...”, gumamku dalam hati. “Tapi kenapa mereka meneriakkan “Tombak Bala Sewu?”. Kenapa mereka tidak meneriakkan lagu-lagu yang lain ya…?, apa mungkin itu yel-yel favorit mereka”, tambahku sekenanya. “Tombak Bala Sewu itu bukanlah suatu yel-yel khas penduduk dusun Tempuran Intan…”, kata seseorang yang tiba-tiba datang yang sekarang sedang bersandar di pintu kamarku. “Oohh… Pak Lik Agus ta, kapan datang Lik?”, tanyaku sambil basa-basi. “Baru tadi sore, tapi tadi Pak Lik tidak langsung ke sini ”, jawab Pak Lik sambil mengusap kepalaku. “Lalu apa arti dari tombak bala sewu itu, kenapa Pak Lik tidak menuliskan artinya sekalian di buku ini?, bikin yang baca penasaran saja..!”, gerutuku karena belum begitu memahaminya. “Tombak Bala Sewu, terdiri dari tiga kata, yaitu Tombak, Bala, dan Sewu. Tombak artinya senjata, Bala artinya kawan, dan Sewu artinya seribu. Jadi, kamu sudah mengerti kan apa yang dimaksud dengan Tombak Bala Sewu itu..?”, jawab Pak Lik, lalu duduk di sebelah kasurku. “Ya…, sekarang aku baru mengerti. Kalau tidak salah …“ Tombak Bala Sewu “ itu … “Sapu Lidi” yang mereka gunakan sebagai senjata memadamkan api yang hampir membakar mereka kan?...”, jawabku dengan yakin. “Ya… seratus untuk keponakan Pak Lik...”. “Dan kenapa disebut Bala Sewu karena kata Pak Guru, manusia itu seperti sapu lidi, jika mereka menginginkan sesuatu, mereka tidak akan dapat mewujudkan keinginan mereka itu sendiri, tentunya tanpa bantuan orang lain, dan jika mereka melakukan itu sendiri mereka akan dengan sangat mudah dipatahkan sama mudahnya dengan mematahkan sebatang lidi. Dan meskipun kakek menggunakan sapu lidi, kalau kakek dan nenek hanya melakukan hal itu berdua, mungkin api itu akan cepat membakar dusun kakek...”, jawabku tanpa kesulitan. “Tapi ada keuntungannya juga lho Tan dari peristiwa itu...”, tambah Pak Lik lagi. “Hah…keuntungan...?! apa manfaat yang mereka dapat Pak Lik, yang ada cuma capai dan bisa-bisa malah jantungan”, sahutku dengan sewot. “Nduk, Tuhan menyelipkan hikmah di setiap peristiwa. Jadi, mungkin saja kalau tidak ada peristiwa Tombak Bala Sewu itu, mungkin orang-orang tak akan menyadari betapa pentingnya saling membantu ”, nasehat Pak Lik. “ Dan... Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh “, kataku dan Pak Lik.
Kini aku tak lagi merasa penasaran mengenai tembang dan peristiwa Tombak Bala Sewu itu. Dan semoga saja aku dan teman-teman dapat mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Kini malam telah larut, jarum jam pun sudah menunjukkan pukul 23.00, rasanya sudah tak sanggup mataku ini untuk terus begadang hingga larut, Pak Lik pun segera mengerti, beliau segera keluar dan mematikan lampu kamarku sambil berpesan, “Jangan lupa berdo’a sebelum tidur ya...!!”, pesannya sebelum menutup pintu kamarku. Kukira aku sudah tidur, tapi ternyata belum, karena aku masih dapat mendengarkan langkah kaki kakek buyutku. Akupun tak menyangka kalau beliau mengetahui bahwa aku belum tidur, lalu kakek buyutku masuk ke kamarku dan bersenandung lirih untukku . “…Ana kidung rumeksa ing wengi, Teguh ayu luputa ing lara, Luputa belai kabeh, Jin setan datan purun, Paneluhan datan wani, Miwa panggawe ala, Gunaning wong luput, Geni atemaha tirta, Maling ado tan ana ngarah mring mami, Guna duduk pan sirna…” “Itu apa Kek?,tanyaku tak mengerti. “Itu adalah Pupuh Dandang Gula”, jawab kakek. “Artinya apa Kek…?” tanyaku usai senandungnya. “Artinya…ada sebuah kidung (nyanyian mantra) penjaga sang malam, berjaga agar semua tetap selamat dan dijauhkan dari sakit, menjauhi segala bahaya, jin dan setan tak bisa mengganggu, teluh tak berani, juga perbuatan orang yang sesat padam seperti tersiram air, pencuri jauh, guna-guna dan penyakit akan sirna”, jelas kakekku. “Oohh…begitu to…”, jawabku. “Itu adalah do’a sebelum tidur yang biasa kakek senandungkan menjelang tidur pak Lik mu, dan kini kakek senandungkan untukmu”, tambah kakekku sambil mengecup keningku. Terimakasih Tuhan… Terimakasih Kakek…dan Terimakasih Pak Lik… Atas semuanya….
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar